Kamis, 02 April 2020

SERATUS RIBU YANG BERMAKNA







Berbicara tentang seratus ribu tentu akan sangat panjang. Kita selalu mengenal seratus ribu adalah nilai nominal tertinggi uang kertas di negara kita. Beberapa waktu yang lalu, masyarakat kita ramai-ramai membicarakan uang seratus ribu. Masyarakat berlomba untuk membuktikan bahwa uang seratus ribu tak lagi bernilai besar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Belanja dengan uang Rp100 ribu sekarang dapat apa?”

Membahas masalah ini marilah bersikap bijak. Kita perlu melihat terlebih dahulu siapa yang berkepentingan dengan seratus ribu itu. Bagi para konglomerat misalnya uang seratus ribu tentu tak ada artinya. Tapi bagi para buruh kasar, seratus ribu adalah nilai yang besar.  Artinya, kita perlu mempertimbangkan untuk kebutuhan apa dulu uang seratus ribu tersebut akan digunakan. Hal berikutnya yang perlu kita cermati dari nilai uang seratus ribu adalah fakta tenta nilai mata uang yang selalu berubah dari tahun ke tahun. Tentu saja nilai uang seratus ribu saat ini berbeda dengan nilai seratus ribu lima tahun lalu.

Oleh karena itu, kita perlu menyikapi dengan bijak terkait makna uang seratus ribu tersebut. Nilai uang seratus ribu akan bergantung pada siapa yang membelanjakan dan untuk apa uang tersebut. Membelanjakannya sesuai kebutuhan akan lebih bermakna daripada membelanjakannya untuk hal yang tak penting. Jika perlu, berbagilah dengan orang lain yang membutuhkan karena uang seratus ribumu akan lebih bermakna.  

DESAIN PEMBELAJARAN JARAK JAUH YANG EFEKTIF




Pendidikan bukan tentang apa yang dipelajari

Kegiatan belajar menulis bersama Omjay semalam terasa berbeda. Hal itu terjadi karena kegiatan belajar menulis dilakukan dengan menggunakan aplikasi webex. Pematerinya pun seorang pengamat dan praktisi pendidikan yang terkenal, yaitu Bapak  Indra Charismiadji. Kepakaran Pak Indra dalam bidang pembelajaran abad 21 sangat cocok dengan materi yang beliau sampaikan. Pembelajaran Abad 21 memang lekat dengan dunia digital. Apalagi ketika pandemi Corona melanda dunia seperti sekarang.
Kegiatan dimulai dengan saling berbagi pengalaman terkait kegiatan daring yang telah dilakukan. Rata-rata peserta mengeluhkan keterbatasan akses dan perangkat digital yang digunakan di daerahnya masing-masing. Pak Indra menyampaikan bahwa saat ini seringkali guru sibuk dengan materi atau konten yang harus diajarkan. Hal tersebut didasarkan pada pedoman bahwa pendidikan seharusnya bukan tentang apa yang dipelajari namun tentang bagaimana kita (guru) mengajarkan. Hal ini selaras dengan empat pilar pendidikan UNESCO, yaitu belajar untuk tahu (learning to know), melakukan (learning to do), menjadi sesuatu (learning to be) dan hidup bersama (learning to live together).
Pak Indra menjelaskan bahwa fungsi guru tidak akan berubah. Selamanya guru akan berperan sebagai fasilitator, motivator, sekaligus teladan. Namun tentunya guru harus mendidik siswanya sesuai zamannya. Pembelajaran abad 21 erat hubungannya dengan teknologi. Dan siswa butuh dikembangkan kreativitasnya. Siswa lebih butuh praktik daripada teori. Dan tugas portofolio yang merangsang kreativitas siswa (seperti blog, vlog, dan sejenisnya) lebih bermakna daripada tugas teori.
Pemateri juga memaparkan tentang 3I Framework dalam dunia pendidikan. 3I Framework tersebut meliputi yakni infrastruktur, Infostruktur, dan infokulture. Infrastruktur ditekankan pada keseimbangan pembelajaran online dan offline.  Infostruktur difokuskan pada kebutuhan abad 21 harus didukung oleh seluruh manajemen sekolah termasuk bahwa sekolah harus memfasilitasi adanya web atau e leraning yang dapat memfasilitasi kegiatan daring. infokulture adalah bahwa budaya digital harus ditanamkan pada seluruh warga sekolah. Tiga hal inilah yang harus ada dalam pembelajaran abad 21.
Tentu saja pembelajaran abad 21 yang ideal ini perlu diupayakan bersama. Jaringan internet yang dapat diakses dimana dan kapan saja serta kemampuan ekonomi masyarakat Indonesia yang belum merata perlu jadi perhatian bersama. Hal ini perlu dilakukan agar pembelajaran abad 21 yang berbasis digital dapat dilaksanakan secara lancar dan berkesinambungan.

Narasumber: Bapak Indra Charismiadji

Rabu, 01 April 2020

KUCING






Aku bukan tidak suka kucing. Geli saja. Suka lihat tapi kalau harus nyentuh. Hhmmm…. Sepertinya tidak. Perihal kucing juga aku jadi sering bertengkar dengan Trisna, pacarku. Pasalnya ia begitu cinta kucing. Seringkali kami ribut kecil hanya karena kucing.

Siang ini aku kembali ribut dengan Trisna. Dan lagi-lagi karena kucing. Ah, kenapa kucing ini tidak beretika. Seenaknya kencing di tasku yang sedang kutaruh di lantai kantin kampus. Kontan saja karena dongkol kutendang ringan kucing itu. Efeknya, pacarku yang penyayang kucing itu marah besar. Katanya aku tidak penyayang.  

“Kita putus!” tegas Trisna di telepon pagi ini. Dan semua karena kucing.

GUDEG MANTAN







Jogja adalah kenangan. Kota dengan segala keromantisannya. Tak habis kata untuk melukiskan Jogja. Makanannya tentu saja jadi salah satu sisi romantisme Jogja. Dan gudeg selalu jadi juaranya. Rasa manis, asin, gurih, dipadu dengan sambel  goreng krecek pedas ditambah seentong nasi hangat. Ah, pasti nikmat. Dan selalu lebih nikmat jika makan gudeg sama kamu.

Tapi kali ini aku harus makan gudeg sendirian. Tanpa kamu. Masih di warung Gudeg langganan kita. Sepiring nasi gudeg sudah tersaji di meja. Tapi aku enggan menyantapnya. Pasti rasanya beda. Betul saja, kupaksa mengambil satu sendok. Dan, hambar.

Ah, pantas saja gudeg ini hambar. Kulihat kau duduk di meja depan bersama seseorang yang kukenal. 

KETOPRAK





Lagi-lagi istriku mengomel. Entah masalah apalagi kali ini yang membuatnya tak berhenti mengomel. Di teras rumah kulihat kedua anakku asyik bermain. Tak lama kulihat mereka terlibat perkelahian. Ah, anak laki-laki memang selalu begitu, bukan? Toh sebentar lagi pasti mereka akur lagi. Dan benar saja, beberapa menit kemudian tak lagi terdengar tangisan.

Kudengar istriku masih saja mengomel. Kali ini, Mak Pik, asisten rumah tangga kami yang jadi sasaran omelannya. Penyebabnya pun sederhana. Mak Pik salah meletakkan kursi. Sederhana. Ya, selalu sederhana penyebab omelan istriku tersayang ini. Tapi, hal sederhana itu selalu menjadi besar ketika sampai padanya.

Dan, akhirnya sampailah omelan itu padaku. Tanpa tahu sebabnya ia mengomeliku. Panjang kali lebar kali tinggi. Aku pun tak tahan. Dengan sedikit menahan emosi, kutanya ia dengan nada bicara yang agak tinggi, “Bunda kenapa sih, dari tadi ngomel aja? Anak-anak, Mak Pik, dan sekarang Ayah!” Tanyaku penuh selidik. Mendengar pertanyaanku, ia pun menghentikan aktivitasnya menyapu. Dengan nada yang juga sedikit meninggi ia menjawab singkat, “Bunda pengen makan KETOPRAK!”

BELAJAR PRODUKTIF DARI RUMAH





Pandemi virus corona di seluruh dunia mengakibatkan banyak kegiatan masyarakat terganggu. Penderita yang semakin banyak dan meluasnya wilayah yang terdampak virus ini mengakibatkan pemerintah Indonesia menetapkan pandemi ini sebagai bencana nasional. Penetapan status bencana berujung pada pembatasan pertemuan ruang publik termasuk dunia pendidikan.

Seluruh pelajar di Indonesia pun ‘dirumahkan’. Kegiatan belajar mengajar diubah menjadi bentuk dalam jaringan atau daring. Terkait dengan kegiatan tersebut, pemerintah berharap campur tangan dari berbagai pihak terutama orang tua. Kegiatan daring tetap membutuhkan pendampingan. Dalam hal ini, orang tua diharapkan mampu menjadi jembatan dan pengawas penugasan yang diberikan guru kepada peserta didik secara daring.

Pembelajaran daring memang membatasi guru untuk bertatap muka dengan peserta didik. Pengawasan utama kegiatan daring secara penuh bertumpu pada peran serta orang tua. Jam pembelajaran daring pun terasa lebih pendek dari jam tatap muka. Oleh sebab itu, orang tua perlu mengoptimalkan kegiatan anak-anak. Memberi tugas tambahan seperti membaca cerita pendek kemudian meresumenya dapat dijadikan pilihan agar anak benar-benar belajar produktif dari rumah.