Rabu, 04 Maret 2020

BANGGA “BERINDONESIA” HENDAKNYA BUKAN LAGI SEKADAR CITA-CITA

Seorang siswa dengan bangga mendapatkan nilai 90 pada matapelajaran bahasa Inggris. Ia dengan bangga menunjukkan kepada teman-temannya. Mungkin ia akan ‘merah muka’ jika saja nilai bahasa Inggrisnya ‘merah’. Sementara itu, ketika nilai bahasa Indonesianya justru jatuh, ia biasa-biasa saja.

 Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa generasi muda kita kurang bahkan tidak bangga berindonesia. Meskipun kita sering mendengar mereka mengatakan cinta Indonesia, nyatanya, cinta dan bangga berindonesia yang mereka dengungkan hanyalah sekadar kata-kata. Tindakan mereka sama sekali tidak mencerminkan bangga berindonesia.
Bangga “berindonesia” hendaknya bukan lagi sekadar cita-cita. Namun, harus menjadi sebuah tindakan nyata. Sayangnya, sebagian besar masyarakat kita tak lagi bangga “berindonesia”. Salah satu buktinya adalah, anak-anak kita lebih bangga mendapat nilai sempurna pada mata pelajaran bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Bahkan, ada kesan bahwa mereka tampak berbangga hati jika dalam percakapan sehari-hari mereka menggunakan bahasa Inggris atau bahasa gaul. Sementara jika ada yang berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dianggapnya aneh, konvensional, kaku, bahkan tak jarang dijadikan bahan ketawaan. Belum lagi, kesalahan berbahasa yang kerap kali ditemui, juga tidak dilihat sebagai kesalahan karena telah dianggap sebuah kewajaran. Saya seringkali menemui anak-anak yang melakukan kesalahan dalam penggunaan kata ‘kita’ dan ‘kami’, misalnya. Hal ini tentu saja lebih dari cukup untuk menggambarkan bahwa anak-anak khususnya, dan kita pada umumnya belum bangga berindonesia. Bagaimana tidak, terhadap bahasa sendiri saja kita tidak (belum) paham. Padahal bahasa Indonesia telah kita pelajari bahkan sejak kita lahir.
Kita sering terpaku pada anggapan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang penuh dengan aturan. Bahkan saya sering mendengar siswa mengatakan bahwa mempelajari bahasa Indonesia lebih sulit daripada mempelajari bahasa Inggris.  Munculnya sekolah bertaraf internasional memperparah kondisi ini. Apalagi menyangkut kebijakan penggunaan bahasa asing (bahasa Inggris) dalam proses pembelajaran di kelas. Bagi guru, tentu saja hal ini menjadi masalah tersendiri dan butuh penyelesaian atau solusi.
Perjuangan para guru harus segera dimulai. Setidaknya para guru harus introspeksi diri tentang bagaimana cara mereka mengajar bahasa Indonesia di kelas. Saya berkeyakinan, pelajaran sesulit apapun jika disampaikan dengan cara dan teknik yang menarik pasti akan menyedot perhatian siswa. Apalagi mengajar bahasa Indonesia yang harusnya tidak menjadi pelajaran menakutkan bagi siswa. Artinya, baik tidaknya cara guru menyampaikan materi akan terlihat dari nilai yang akan dihasilkan siswa. Sebagai guru kita perlu mencatat bahwa seharusnya bahasa Inggris tidak perlu menjadi ‘saingan’ bahasa Indonesia karena bahasa Inggris merupakan bahasa penunjang keilmuan. Meskipun ini bukan berarti kita membiarkan anak-anak kita meninggalkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di bumi pertiwi. Bahasa asing, khususnya bahasa Inggris dalam hal ini, dipelajari bukan untuk menggantikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di negeri ini, melainkan sebagai bahasa penunjang untuk memperluas akses keilmuan dan pengetahuan yang notabene berasal dari negara-negara Barat serta untuk memperluas akses jaringan internasional sebagai tuntutan era globalisasi.
Terkait hal tersebut di atas, saya mulai perjuangan saya dengan memberikan gambaran kepada anak-anak betapa kaya dan santunnya bahasa kita. Pertama, bahasa kita memiliki banyak pilihan saat kita menggunakan kata ganti orang. Sebut saja saat kita ingin memanggil orang yang lebih tua dengan sapaan Anda, beliau, dan sebagainya. Kita juga bisa menggunakan kata kamu saat menyapa teman sejawat. Sekarang coba bandingkan dengan penggunaan bahasa Inggris. Saat bersama orang yang lebih tua pun kata yang digunakan sama, yaitu you. Kedua, bahasa Indonesia mengenal perbedaan penggunaan kata ‘kami’ dan ‘kita’ sedangkan bahasa Inggris tidak. Untuk penyebutan kedua kata tersebut, bahasa Inggris hanya memiliki satu sebutan saja yaitu ‘We’.  Kedua contoh tersebut adalah sedikit dari fakta yang ada bahwa bahasa kita memang perlu kita junjung tinggi. Setidaknya kita perlu mengamalkan sumpah pemuda yang pernah terucap bahwa generasi muda kita berjanji berbahasa satu bahasa Indonesia.
Bahasaku tak lekang di hati. Ungkapan itu setidaknya harus menjadi semangat bagi kita semua untuk lebih bangga berindonesia. Salah satunya dengan penggunaan bahasa Indonesia. Kita perlu mengukuhkan kedudukan bahasa kita di atas bahasa negara lain. Bayangkan jika suatu saat nanti bahasa kita malah menjadi bahasa kedua di negeri sendiri. Anak-anak kita lebih mahir berbahasa asing daripada berbahasa Indonesia.
Harusnya gempuran bahasa asing tak perlu membuat bahasa kita terpojok di sudut yang sulit terjangkau semua orang. Bahkan jika perlu, misalnya, pemerintah dapat membuat aturan yang mengharuskan semua buku berbahasa asing  yang akan masuk  ke Indonesia wajib diterjemahkan terlebih dahulu ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini semata-mata untuk  melindungi bahasa kita, bahasa Indonesia.
Bangga berindonesia memang tidak terbatas pada bangga menggunakan bahasa Indonesia. Ada banyak hal yang perlu kita banggakan dari negeri kita tercinta. Untuk itulah, kita perlu mengarahkan dan menyiapkan anak didik kita agar mereka bangga berindonesia. Membekali mereka dengan semangat keindonesiaan yang akan terpatri hingga tulang rusuk. Tentu saja hal ini bukan perkara mudah. Ada banyak hal yang akan menjadi batu sandungan. Apalagi gempuran globalisasi yang semakin mengakar di bumi pertiwi. Namun, disanalah letak perjuangan kita.
Era globalisasi merupakan masa yang tak akan bisa kita hindari lagi. Yang penting bukanlah bagaimana cara menghindarinya, tapi bagaimana menyiapkan diri dan generasi muda kita agar mampu mengambil nilai positif dari kehadiran era globalisasi itu sendiri. Ari Sudewa dalam artikelnya yang berjudul Pengertian dan Pentingnya Globalisasi Bagi Indonesia[1] mengatakan bahwa globalisasi memiliki nilai-nilai positif namun juga memiliki nilai-nilai negatif. Untuk menyaring nilai-nilai negatif, kita harus berpedoman pada nilai-nilai Pancasila karena nilai-nilai Pancasila sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Jika kita mengambil nilai-nilai negatif globalisasi, yang akan terjadi adalah kaburnya jati diri bangsa Indonesia dan masuknya kebiasaan-kebiasaan yang buruk.
Pada dasarnya, dampak negatif globalisasi dapat kita minimalkan jika kita memiliki keyakinan yang kokoh bahwa bangsa kita tak lebih buruk dari negara lain. Meyakinkan diri bahwa negara kita adalah negara yang kaya raya dan hebat. Tengok catatan Sofyan Basir, Presiden Direktur BRI dalam program BRI Peduli Bangga Berindonesia[2] ini. Pertama, Indonesia saat ini merupakan salah satu kampiun negara demokrasi terbesar dunia, bersama India dan Amerika Serikat. Kita pun menjadi pemilik stabilitas politik terbaik di kawasan Asia bahkan dunia. Kedua, secara sosiokultural, kita masuk dalam jajaran terdepan negara paling majemuk sedunia. Puluhan ribu bahasa lokal dan etnis ada di nusantara. Masuklah ke pedalaman nusantara ini. Temukan di sana ribuan suku-suku kecil, adat-istiadat, budaya, tari-tarian, kuliner, pakaian adat, tradisi, alat musik dan sampai kebijakan lokal (localwisdom)!.“Hebatnya kita bisa hidup berdampingan dan berbangsa menjadi satu,” lanjut Sofyan. Ketiga, secara geografis kita juga menjadi pemilik garis pantai dan laut terluas sedunia. Tak ketinggalan 17.000 pulau membentang dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai Pulau Rote. Keempat, soal keindahan alamnya, Indonesia tidak ada bandingnya. Bali selalu dinobatkan sebagai pulau dengan tujuan wisata nomor satu dunia. Demikian indahnya pulau ini, pada tahun 2011 lalu sebanyak 7.650.731 turis mancanegara telah mengunjungi dan menikmati panorama negeri ini “Kita punya Bunaken, Wakatobi, dan sekarang ini yang lagi naik daun Raja Ampat, pemilik terumbu karang terindah sedunia. Jadi kurang apa lagi,” imbuh Sofyan. Kelima, soal ekonominya, kita juga memiliki banyak keistimewaan. Krisis silih berganti, toh bangsa Indonesia mampu melewatinya dengan mulus dan banyak keberuntungan datang berkunjung ke negara kita. Akhir 2011 ini, kita mendapat kado istimewa investment grade di saat negara-negara maju sedang berjuang mengatasi krisis utang dan ekonominya. Bagaimana tidak istimewa, ketika pesimisme melanda berbagai negara maju itu, negara kita malah menebar optimisme hingga akhir 2011 dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5%. Kita juga bangga sebab bersama negara-negara besar Cina dan India, masuk dalam tiga negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Keenam, dari sisi kualitas sumber daya manusia, siapa bilang bahwa Indonesia terlalu buruk? Lihatkah setiap tahun, kontingen Indonesia kembali dari negeri orang dan membawa pulang medali-medali Olimpiade Fisika, Sains, Biologi, dan Matematika tingkat dunia. “Anak-anak didik kita sejajar kualitas otaknya dengan anak-anak dari Amerika, Rusia, Jepang, bahkan Israel,” ungkap Sofyan.
Dari data di atas, kita patut bangga dengan negeri yang elok ini.  Kebanggaan itu hendaknya tak lagi hanya menjadi sebuah cita-cita karena fakta yang ada sudah cukup untuk membuka mata kita bersama betapa kaya raya Indonesia.  Kebanggaan itu perlu kita konkretkan dalam tindakan sehari-hari. Menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, menggunakan produk lokal, dan melestarikan budaya adalah sedikit dari sekian banyak tindakan yang dapat kita lakukan untuk menunjukkan rasa bangga kita sebagai warga negara Indonesia. 


[1]http://arisudev.wordpress.com/2010/12/22/pengertian-dan-pentingnya-globalisasi-bagi-indonesia/
[2]news.detik.com/read/2012/03/06/010003/.../bangga-berindonesia?...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar